4 kewajiban muslim kepada jenazah
OLEH; SAN SAN ABDUL ZAFAR
- Memandikan jenazah
- a. Hukum
b. Jenazah yang wajib dan yang tidak wajib dimandikan
Jenazah yang wajib dimandikan adalah semua mayat kecuali:
– Mayat yang telah mati syahid sebab perang membela agama Allah di medan peperangan, meski dalam keadaan junub dan dimakamkan dengan darahnya tanpa dibasuh sedikitpun.
– Bayi yang baru lahir dan belum mengeluarkan suara (belum menjerit)[1]
Di sebutkan dalam sebuah hadits:
“Anak gugur jika belum sampai 4 bulan, tidak dimandikan dan tidak di shalat. Jika lahir setelah 4 bulan dimandikan, tetapi tidak di shalati, kalau belum nyata tanda-tanda hidup”
Mengenai bayi yang mati sebelum 4 bulan disepakati tidak dimandikan dan tidak dishalati, jika lahir setelah 4 bulan, maka menurut Abu Hanifah dimandikan dan dishalati jika didapati ada tanda-tanda hidup seperti bersin dan gerak. Menurut Imam Malik diperlukan gerak yang nyata yang sungguh-sungguh memberikan keyakinan bahwa anak itu hidup, namun kata Imam Ahmad dimandikan dan dishalati.[2]
c. Para syuhada’ yang dimandikan dan di shalati
Dalam hadits Dibawah ini kita sebutkan macam-macam syuhada’ yang dimandikan:
Diterima dari Jabir Bin ‘Atik bahwa nabi Muhammad SAW bersabda:
“Ada tujuh macam syuhada’ lagi selain dari syahid dalam perang sabil: orang yang mati karena penyakit sampar adalah syahid, orang yang tenggelam adalah syahid, orang yang kena kanker pada lambungnya adalah syahid, orang yang sakit kolera adalah syahid, orang yang mati terbakar adalah syahid, orang yang ditimpa runtuhan adalah syahid, dan wanita yang mati karena melahirkan adalah syahid.”
(Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud dan Nasa’i dengan sanad yang shahih)
d. Cara memandikan
Yang wajib dalam memandikan mayat itu adalah mengalirkan air satu kali ke seluruh tubuh jenazah, walaupun dalam keadaan junub atau haidl sekalipun. Lebih utamanya jenazah diletakkan di tempat yang tinggi, ditanggalkan pakaiannya dan ditaruh di atasnya sesuatu yang dapat menutupi auradnya.ini jika mayat itu bukan anak kecil.
Hendaknya yang akan memandikannya itu adalah orang yang jujur, saleh dan dapat dipercaya.
Diriwayatkan oleh ibnu majjah bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Hendaknya yang akan memandikan jenazah-jenazahmu itu orang-orang yang dipercaya.”
Setelah itu hendaklah dimulai dengan memijat perut mayat dengan lunak, untuk mengeluarkan isinya kalau ada, serta hendaknya dibersihkan najis-najis yang terdapat dibadannya. Dan ketika membersihkan auradnya hendaklah tangannya di lapisi dengan kain, karena menyentuh aurad hukumnya haram, kemudian hendak di wudlukan mayit itu seperti halnya wudlu shalat, berdasarkan sabda Rasulullah SAW:
“Mulailah dengan bagian yang kanan dan anggota wudlu.”
Setelah itu hendaklah dimandikan tiga kali dengan air dan sabun dengan memulainya dari anggota yang kanan. Dan seandainya tiga kali itu tidak cukup maka hendaklah dilebihinya menjadi lima atau tujuh kali. Dalam buku shahih tertera bahwa Nabi SAW bersabda:
“Mandikanlah jenazah-jenazah itu secara ganjil, tiga, lima, atau tujuh kali, atau boleh juga lebih jika kamu pandan perlu.”
Jika telah selesai memandikan mayat, hendaklah tubuhnya dikeringkan dengan handuk atau kain yang bersih, agar kain kafannya tidak basah, lalu ditaruh di atasnya minyak wangi.
Sabda Rasulullah SAW:
“Jika kamu mengasapi mayat dengan wangi-wangian, maka hendaklah dengan jumlah yang ganjil”
(Diriwayatkan oleh Baihaqi, juga oleh Hakim dan Ibn Hibban yang mengatakan sahnya)
Hikmah mencampur air dengan kapur barus sebagaimana telah disebutkan oleh para ulama’ ialah karena baunya yang harum, justru pada hadirnya malaikat, juga mengandung khasiat yang baik untuk mengawetkan dan mengeraskan tubuh mayat hingga tidak cepat busuk, begitupun untuk mengusir binatang-binatang buas. Dan seandainya kapur barus tidak ada, bias digantikan dengan bahan-bahan lain yang mengandung semua atau sebagian dari khasiat-khasiatnya.
e. Tayammum bagi jenazah diwaktu tidak air
Pada buku Al-Musawwa diceritakan dari imam Malik bahwa ia mendengar para ulama’ mengatakan bila seorang wanita meninggal dan tak ada wanita yang memandikannya, begitupun tak ada muhrim atau suami yang akan menyelenggaraka itu, hendaklah ia di tayamumkan yaitu dengan menyapu muka dan kedua telapak tangannya dengan tanah. Katanya lagi: “Sebaliknya bila laki-laki meninggal dan tak ada orang disana kecuali wanita, maka hendaklah mereka mentayamumkan pula.”
2. Mengkafani jenazah
a. Hukumnya
Mengkafani mayat dengan apa saja yang dapat menutupi tubunya walau hanya sehelai kain, hukumnya adalah fardlu kifayah.
Diriwayatkan oleh Bukhari dari Khibab r. a. :
“Kami hijrah bersama Rasulullah SAW, dengan mengharapkan keridhaan Allah. Maka tentulah akan kami terima pahalanya dari allah. Karena diantara kami ada yang meninggal sebelum memperoleh hasil (duniawi) sedikitpun. Misalnya Mash’ab bin Umeir, ia tewas terbunuh di perang uhud, dan tak ada kain kafan kecuali selembar kain burdah. Jika kepalanya ditutup akan terbukalah kakinya, dan jika kakinya ditutup, maka tersembul kepalanya. Maka Nabi SAW menyuruh kami buat menutupi kepalanya, dan menaruh rumput idzkhir pada kedua kakinya.”[3]
b. Cara mengkafani jenazah
Tentang mengkafani orang lelaki dengan tiga kerat kain disetujui Imam Malik dan Imam Ahmad. Kata Abu Hanifah: “mengkafani wanita dengan tiga kerat juga, yaitu kain sarung, selendang (baju luar), dan baju kurung. Dan jika dicukupi buat wanita sekadar 3 lapis, hendaklah krudung diletakkan diatas baju kurung dibawah kain selimut badan.
Menurut Imam Malik, tak ada batas bagi kain kafan itu yang diwajibkan ialah menutupi badan jenazah.
“Sekurang-kurang kafan sekerat kain yang menutupi badan,dan disukai dikafani orang lelaki dalam tiga kerat kain putih, sebagaimana disukai kita mengkafani orang perempuan dalam lima kerat kain (baju kurung, kain pinggang, kain selimut, krudung, dan lapis yang kelima dipergunakan untuk mengikat dua pahanya.”[4]
3. Shalat Jenazah
a. Hukumnya
Telah disepakati oleh imam-imam ahli fiqh bahwa menyalatkan jenazah itu hukumnya fardlu kifayah. Berdasarkan perintah Rasulullah SAW, dan perhatian kaum muslimin dalam menepatinya.
Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah:
“Bahwa seorang laki-laki yang meninggal dalam keadaan berhutang disampaikan beritanya kepada Nabi SAW, maka nabi akan menanyakan apakah ia ada meninggalkan kelebihan buat pembayar hutangnya. Jika dikatakan orang bahwa ia ada meninggalkan harta untuk pembayarannya, maka beliau akan menyalatkan mayat itu, jika tidak beliau akan memesankan kepada kaum muslimin: “shalatkanlah teman sejawatmu.”
b. Keutamaanya
Diriwayatkan oleh Jamaah dari Abu Hurairah bahwa Nabi SAW. Bersabda:
“Barang siapa mengiringkan jenazah dan turut menyalatkannya, ia akan memperoleh pahala sebesar satu qirath,[5] dan barang siapa yang mengiringkannya sampai selesai penyelenggaraannya, ia akan memperoleh dua qirath, yang terkecil, atau salah satu diantaranya, beratnya seperti gunung uhud.”
c. Menyalati bayi yang gugur[6]
Bayi yang gugur yang belum berumur 4 bulan dalam kandungan, tidaklah dimandikan dan dishalatkan, namun hanya dibalut dengan secarik kain dan lalu ditanam. Demikianlah pendapat fuqoha’ tanpa pertikaian.
Jika setelah berusia 4 bulan atau lebih dan menunjukkan cirri-ciri hidup, maka menurut kesepakatan fuqoha’ pula, hendaklah dimandikan dan dishalatkan. Berdasarkan hadits yang diriwaytkan oleh Turmudzi, Nasa’i, Ibnu Majah, dan Baihaqi dari Jabir bahwa Nabi SAW. Bersabda:
“Jika bayi yang gugur itu memiliki tanda-tanda hidup, hendaklah dishalatkan dan ia berhak menerima warisan.”
d. Menyalati orang yang mati syahid
Syahid ialah orang yang terbunuh dalam peperangan menghadapi orang-orang kafir. Mengenai orang yang mati syahid ini, telah diterima beberapa hadits yang menegaskan bahwa ia tidaklah dishalati.
Diriwayatkan oleh Bukhari dari Jabir:
“Bahwa Nabi SAW, menyuruh memakamkan para syuhada’ uhud dengan darah mereka, tanpa dimandikan dan dishalatkan.”[7]
Dalam hadits lan juga disebutkan:
“Bahwa Rasulullah SAW. Mengurus jenazah orang-orang yang gugur dalam perang uhud, lalu beliau bersabda: “aku menyaksikan mereka, maka selimutilah mereka berikut darah dan luka-luka mereka.”[8]
e. Cara shalat jenazah
1) Posisi imam
Imam hendaklah berdiri tepat dihadapan kepala jika yang meninggal itu laki-laki, dan dihadapan perutnya jika yang meninggal itu wanita, dan jika jenazahnya lebih dari satu, maka kepala jenazah laki-laki hendaklah diletakkan di dekat imam, dan jenazah wanita diletakkan dibelakang jenazah laki-laki, dengan kepala jenazah laki-laki diarahkan ke selatan, sedangkan kepala jenazah wanita diarahkan ke utara.
Berdasarkan hadits dari Anas r.a:
“Bahwa ia,yakni Anas, menyalatkan jenazah laki-laki, maka ia berdiri dekat kepalanya. Setelah jenazah itu diangkat, lalu di bawa jenazah wanita, maka dishalatkannya pula dengan berdiri dekat pinggangnya. Lalu ditanyakan orang kepadanya: “beginikah cara Rasulullah SAW, menyalatkan jenazah, yaitu bila laki-laki berdiri di tempat seperti anda berdiri itu? Dan wanita juga seperti yang anda lakukan?” “benar” ujar Anas.”
(Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud, dan Ibnu Majah juga oleh Turmudzi yang menyatakannya sebagai hadits hasan)
2) Langsung takbir
Hendaklah imam tidak menyeru “ashalaatul jaami’ah”, melainkan langsung takbir dengan mengangkat kedua tangan.
3) Tanpa membaca iftitah
Sesudah mengawali dengan takbir pertama kedua tangan diletakkan diatas dada (pergelangan tangan kanan menggenggam punggung pergelangan tangan kiri) agar langsung membaca ta’awwudz tanpa doa iftitah. Kemudian membaca surat al-fatihah, kemudian takbir lagi (ke-2), kemudian shalawat, sesudah itu takbir lagi (ke-3), kemudian doa, kemudian takbir lagi (ke-4), sesudah itu salam.
f. Doa dalam shalat jenazah
Jika laki-laki adalah:
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ وَعَافِهِ وَاعْفُ عَنْهُ
“Ya Allah berikan ampunan, rahmat, kesejahteraan, dan kemaafan kepadanya.” Sedangkan doa yang lazim digunakan sesudah takbir ke-4 yaitu:
اَللَّهُمَّ لَا تَحْرِمْنَا اَجْرَهُ وَلَاتَفْتِنَّا بَعْدَهُ وَاغْفِرْ لَنَا وَلَهُ
“Ya Allah, jangan kau haramkan kami memperoleh pahalanya, jangan
kau biarkan fitnah menimpa kami sesudahnya, ampunilah kami dan
ampunilah dia.”[9]
4. Memakamkan Jenazah
a. Hukum memakamkan jenazah
Hukum memakamkan jenazah adalah wajib, sekalipun jenazah seorang
kafir, berdasarkan sabda Nabi Saw. kepada Ali bin Abi Thalib r.a. ketika
Abu Thalib meninggal dunia, “(Wahai Ali), pergilah lalu kuburlah ia!”[1]
Adalah sunnah Nabi SAW, mengubur jenazah di pemakaman, sebab Nabi tidak pernah mengubur jenazah kecuali di pekuburan Baqi’, seperti yang telah diriwayatkan secara mutawatir. Tidak pernah diriwayatkan dari seorang salafpun, bahwa Rasulullah pernah mengubur jenazah di selain pemakaman umum, kecuali Nabi SAW sendiri yang dikebumikan di dalam kamarnya, dan ini termasuk pengecualian baginya, seperti yang ditegaskan oleh hadits Aisyah r.a. ia berkata, “Tatkala Rasulullah SAW wafat, para sahabat berbeda pendapat perihal penguburannya, lalu berkatalah Abu Bakar r.a. “Aku pernah mendengar dan Rasululah saw. wejangan yang tidak pernah kulupakan, yaitu beliau bersabda, “Setiap Nabi yang diwafatkan oleh Allah pasti dikebumikan di lokasi yang beliau sukai dikubur padanya.”Maka kemudian para sahabat mengubur Rasulullah di tempat pembaringannya.[2]
Dikecualikan juga dari hal tersebut adalah para syuhada yang gugur di medan perang, mereka dikebumikan di lokasi gugurnya, tidak usah dipindahkan dipemakaman umum. Hal ini didasarkan pada hadits dari Jabir r.a. berkata, tatkala terjadi perang Uhud, dibawalah para prajurit yang gugur agar dikebumikan di Baqi’, maka berserulah seorang penyeru dari Rasulullah saw., “Sesungguhnya Rasulullah SAW. pernah memerintah kalian agar mengubur para syuhada’ di tempat gugurnya.”[3]
b. Waktu yang dilarang mengubur jenazah
1) Pada tiga waktu terlarang
Dari Uqbah bin Amir r.a., ia berkata “Ada tiga waktu Rasulullah saw. melarang kami mengerjakan shalat, atau mengubur jenazah yaitu ketika matahari terbit hingga tinggi, di waktu matahari tegak berdiri hingga bergeser ke arah barat, dan ketika matahari menjelang terbenam hingga tenggelam.”[4]
2) Di kegelapan Malam
Dari Jabir r.a. ia berkata, “Bahwa Nabi saw. pernah menyebutkan seorang sahabatnya yang meninggal dunia, lalu dikafani dengan kain kafan yang tidak cukup dan dikebumikan di malam hari, maka Nabi SAW mengecam upaya penguburan jenazah di malam hari hingga ia dishalati, kecuali orang yang karena terpaksa melakukannya.[5]
Manakala diharuskan melakukan pemakaman di malam hari karena terpaksa, maka hal itu boleh. Sekalipun harus menggunakan lampu ketika menurunkan mayat ke dalam kubur untuk mempermudah pelaksanaan penguburan, berdasarkan hadits dari Ibnu Abbas r.a. berkata, “Bahwa Rasulullah saw. pernah mengubur mayat seorang laki-laki pada malam hari dengan menggunakan lentera ketika menurunkannya ke dalam kubur.”[6]
c. Liang kubur
Dari Hisyam bin Amri r.a. bertutur, sesuai perang Uhud, banyaklah yang gugur dari kaum muslimin dan banyak pula prajurit yang luka-luka. Kemudian kami bertanya, “Ya Rasulullah, untuk menggali lubang bagi setiap korban tentu berat bagi kami, lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Maka, Rasulullah bersabda “Galilah lubang, lebarkanlah, perdalamkanlah, baguskanlah, dan kebumikanlah dua atau tiga mayat dalam satu kubur, dan dahulukanlah di antara mereka, orang yang paling menguasai al-Qur’an! Maka adalah ayahku satu diantara tiga dari mereka yang paling banyak menguasai al-Qur’an. Maka ia pun didahulukan.”[7]
Liang lahad lebih utama dari pada syaq, Lahad artinya liang di sisi kubur arah qiblat, di atasnya ditegakkan batu-batu bata atau papan-papan kayu, hingga seakan-akan rumah yang beratap. Sedangkan syaq artinya liang ditengah-tengah kubur untuk tempat mayat, kelilingnya dipagari dengan batu-batu bata dan diatasnya ditutupi dengan sesuatu sebagai atap. Keduanya boleh digunakan, akan tetapi yang lahad yang lebih utama.
Dari Anas bin Malik saw. Berkata:
“Tatkala Nabi SAW. wafat, di Madinah ada seorang laki-laki yang dikenal pandai membuat lubang kubur berbentuk lahad dan ada seorang lagi yang dikenal ahli membuat lubang kubur berbentuk (makam). Para sahabat berunding, lalu mengatakan, “Sebaiknya kita shalat istikharah, lalu kita datangkan keduanya, maka mana yang lebih cepat datang, kita tinggalkan yang lain.” Kemudian para sahabat sepakat memanggil keduanya, ternyata penggali lubang kubur yang berbentuk lahatlah yang datang lebih dahulu. Maka kemudian mereka menggali lubang kubur berbentuk lahad untuk Nabi SAW..”[8]
d. Memasukkan jenazah ke liang kubur
Hendaklah yang mengurusi dan yang menurunkan mayat ke liang lahad adalah kaum laki-laki, bukan kaum wanita, sekalipun jenazah yang dikebumikan adalah perempuan. Sebab itulah yang berlaku sejak masa Nabi SAW. dan yang dipraktikkan kaum muslimin hingga hari ini.
Sanak kerabat sang mayat lebih berhak menguburnya, berdasar firman Allah:
“Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak di dalam kitab Allah.” (QS. Al-Ahzab:6)
Dari Ali r.a. ia berkata: Aku telah memandikan Rasulullah SAW. lalu aku perhatikan dengan seksama apa yang sering ada pada mayat, maka aku tidak dapatkan sesuatu sekecil apapun pada tubuhnya. Rasulullah saw. sangat baik jasadnya di kala hidup hingga meninggal dunia.:” Dan, di samping para sahabat pada umumnya yang ikut serta memasukkan ke dalam kubur dan menguburnya, ada empat orang, Ali, al-Abbas, al-Fadhal, dan Shalih, bekas budak Rasulullah saw.. Dan telah digalikan liang lahat untuk Rasulullah dan ditegakkan bata di atasnya.[9]
Namun yang demikian dipersyaratkan apabila sang suami tidak berhubungan badan dengan isterinya pada malam harinya. Manakala telah menjima’ isterinya, maka tidak dibolehkan baginya mengubur jenazah isterinya. Bahkan lebih diutamakan orang lain yang menguburnya, walaupun bukan mahramnya dengan persyaratan tersebut. Hal ini berdasar hadits dari Anas r.a ia berkata:
“Kami pernah menyaksikan (pemakaman) puteri Rasulullah saw., sedangkan Rasulullah duduk di atas kuburan, saya lihat kedua matanya meneteskan air mata, kemudian Rasulullah saw. bertanya, “Adakah di antara kalian yang tadi malam tidak berjima’ dengan isterinya?” Maka Abu Thalhah berkata : “Saya wahai Rasulullah.” sabda Beliau (lagi), “Kalau begitu turunlah” kemudian Abu Thalhah turun ke dalam liang kuburnya.[10]
Menurut sunnah Nabi SAW. memasukkan jenazah dari arah kaki berdasar hadits, dari Abu Ishaq r.a. ia berkata, Al-Harist telah mewasiatkan sebelum meninggal dunia agar dishalati oleh Abdullah bin Zaid. Dan, Abdulullah menshalatkannya, kemudian memasukkan jenazah al-Harist ke liang lahad dari arah kaki kubur. Ia berkata, “Ini termasuk sunnah Nabi SAW..”[11]
Dan hendaknya orang meletakkan jenazah ke dalam liang kuburnya membaca, “BISMILLAHI WA ‘ALAA SUNNATI RASUULILLAAH.” atau “BISMILLAHI WA’ALAA MILLATI RASUULILLAH.” Sesuai dengan hadits :
“Dari Ibnu Umar r.a. Nabi SAW. apabila memasukkan mayat ke dalam lubang kubur, beliau mengucapkan, “BISMILLAHI WA’ALAA SUNNATI RASUULILLAAH” (Dengan menyebut nama Allah dan mengikuti sunnah Rasulullah).”[12]
e. Posisi jenazah
Di dalam liang lahat jenazah diletakkan dalam posisi miring dengan sisi kanan jasad jenazah di bawah dan menghadap kiblat, sebagaimana sabda Rasulullah SAW tentang Ka’bah:
“Ka’bah adalah kiblat kalian (baik ketika masih) hidup maupun (ketika telah) mati.” (Hadist riwayat Abu Dawud dan perawi-perawi yang lain).
Jadi hendaknya membaringkan sang mayat di dalam liang lahat dengan posisi lambung kanan di bawah dan menghadap ke arah kiblat, sementara kepala dan kedua kakinya menghadap ke arah kanan dan kiri kiblat. Inilah yang dipraktikkan ummat Islam sejak masa Rasulullah SAW. hingga masa kita sekarang ini.
f. Beberapa hal yang disunnahkan usai pemakaman mayat
1) Hendaknya kuburan ditinggikan sekedar sejengkal dari permukaan tanah, dan tidak diratakan dengan tanah agar diketahui dan bisa dibedakan dari yang lain sehingga tetap terpelihara dan tidak dihinakan. Berdasar hadits dari Jabir r.a. bahwa Nabi SAW. telah dibuatkan liang lahad untuk beliau, lalu ditegakkan disamping lahad dengan bata dan ditinggikan kuburnya sejengkal dari permukaan tanah.[13]
2) Hendaknya gundukan tanah lebihan tersebut dibentuk seperti gunung, berdasar hadits, dari Sufyan at-Tammar r.a. ia berkata, “Saya melihat kubur Nabi saw. dibentuk seperti punuk.”[14]
3) Hendaknya memberi tanda pada makam dengan batu atau sejenisnya agar diketahui dan dijadikan tempat pemakaman bagi keluarganya. Berdasar hadits dari al-Muthalib bin Abi Wada’ah r.a. ia bercerita:
“Tatkala Utsman bin Mazh’un meninggal dunia, maka dibawalah jenazah (ke makam), lalu dikebumikan. Setelah dikubur, Nabi SAW menyuruh seorang sahabat mencari batu, namun ternyata ia tidak mampu membawanya. Maka kemudian Rasulullah SAW sendiri yang datang mengambilnya sambil menyingsingkan lengan bajunya.”
Al-Muthalib melanjutkan ceritanya : “Berkatalah orang yang memberitakan kepadaku dari Rasulullah SAW, Seolah-olah aku melihat putih kedua lengan Rasulullah SAW. ketika Beliau menyingsingkan kedua lengan bajunya. kemudian Beliau mengambil batu itu dan meletakkannya di bagian kepalanya lalu bersabda: “Dengan batu ini aku mengenal kuburan saudaraku dan aku akan mengubur di tempat ini (pula) ada dari kalangan keluarganya yang wafat.”[15]
Adalah sunnah Nabi SAW, mengubur jenazah di pemakaman, sebab Nabi tidak pernah mengubur jenazah kecuali di pekuburan Baqi’, seperti yang telah diriwayatkan secara mutawatir. Tidak pernah diriwayatkan dari seorang salafpun, bahwa Rasulullah pernah mengubur jenazah di selain pemakaman umum, kecuali Nabi SAW sendiri yang dikebumikan di dalam kamarnya, dan ini termasuk pengecualian baginya, seperti yang ditegaskan oleh hadits Aisyah r.a. ia berkata, “Tatkala Rasulullah SAW wafat, para sahabat berbeda pendapat perihal penguburannya, lalu berkatalah Abu Bakar r.a. “Aku pernah mendengar dan Rasululah saw. wejangan yang tidak pernah kulupakan, yaitu beliau bersabda, “Setiap Nabi yang diwafatkan oleh Allah pasti dikebumikan di lokasi yang beliau sukai dikubur padanya.”Maka kemudian para sahabat mengubur Rasulullah di tempat pembaringannya.[2]
Dikecualikan juga dari hal tersebut adalah para syuhada yang gugur di medan perang, mereka dikebumikan di lokasi gugurnya, tidak usah dipindahkan dipemakaman umum. Hal ini didasarkan pada hadits dari Jabir r.a. berkata, tatkala terjadi perang Uhud, dibawalah para prajurit yang gugur agar dikebumikan di Baqi’, maka berserulah seorang penyeru dari Rasulullah saw., “Sesungguhnya Rasulullah SAW. pernah memerintah kalian agar mengubur para syuhada’ di tempat gugurnya.”[3]
b. Waktu yang dilarang mengubur jenazah
1) Pada tiga waktu terlarang
Dari Uqbah bin Amir r.a., ia berkata “Ada tiga waktu Rasulullah saw. melarang kami mengerjakan shalat, atau mengubur jenazah yaitu ketika matahari terbit hingga tinggi, di waktu matahari tegak berdiri hingga bergeser ke arah barat, dan ketika matahari menjelang terbenam hingga tenggelam.”[4]
2) Di kegelapan Malam
Dari Jabir r.a. ia berkata, “Bahwa Nabi saw. pernah menyebutkan seorang sahabatnya yang meninggal dunia, lalu dikafani dengan kain kafan yang tidak cukup dan dikebumikan di malam hari, maka Nabi SAW mengecam upaya penguburan jenazah di malam hari hingga ia dishalati, kecuali orang yang karena terpaksa melakukannya.[5]
Manakala diharuskan melakukan pemakaman di malam hari karena terpaksa, maka hal itu boleh. Sekalipun harus menggunakan lampu ketika menurunkan mayat ke dalam kubur untuk mempermudah pelaksanaan penguburan, berdasarkan hadits dari Ibnu Abbas r.a. berkata, “Bahwa Rasulullah saw. pernah mengubur mayat seorang laki-laki pada malam hari dengan menggunakan lentera ketika menurunkannya ke dalam kubur.”[6]
c. Liang kubur
Dari Hisyam bin Amri r.a. bertutur, sesuai perang Uhud, banyaklah yang gugur dari kaum muslimin dan banyak pula prajurit yang luka-luka. Kemudian kami bertanya, “Ya Rasulullah, untuk menggali lubang bagi setiap korban tentu berat bagi kami, lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Maka, Rasulullah bersabda “Galilah lubang, lebarkanlah, perdalamkanlah, baguskanlah, dan kebumikanlah dua atau tiga mayat dalam satu kubur, dan dahulukanlah di antara mereka, orang yang paling menguasai al-Qur’an! Maka adalah ayahku satu diantara tiga dari mereka yang paling banyak menguasai al-Qur’an. Maka ia pun didahulukan.”[7]
Liang lahad lebih utama dari pada syaq, Lahad artinya liang di sisi kubur arah qiblat, di atasnya ditegakkan batu-batu bata atau papan-papan kayu, hingga seakan-akan rumah yang beratap. Sedangkan syaq artinya liang ditengah-tengah kubur untuk tempat mayat, kelilingnya dipagari dengan batu-batu bata dan diatasnya ditutupi dengan sesuatu sebagai atap. Keduanya boleh digunakan, akan tetapi yang lahad yang lebih utama.
Dari Anas bin Malik saw. Berkata:
“Tatkala Nabi SAW. wafat, di Madinah ada seorang laki-laki yang dikenal pandai membuat lubang kubur berbentuk lahad dan ada seorang lagi yang dikenal ahli membuat lubang kubur berbentuk (makam). Para sahabat berunding, lalu mengatakan, “Sebaiknya kita shalat istikharah, lalu kita datangkan keduanya, maka mana yang lebih cepat datang, kita tinggalkan yang lain.” Kemudian para sahabat sepakat memanggil keduanya, ternyata penggali lubang kubur yang berbentuk lahatlah yang datang lebih dahulu. Maka kemudian mereka menggali lubang kubur berbentuk lahad untuk Nabi SAW..”[8]
d. Memasukkan jenazah ke liang kubur
Hendaklah yang mengurusi dan yang menurunkan mayat ke liang lahad adalah kaum laki-laki, bukan kaum wanita, sekalipun jenazah yang dikebumikan adalah perempuan. Sebab itulah yang berlaku sejak masa Nabi SAW. dan yang dipraktikkan kaum muslimin hingga hari ini.
Sanak kerabat sang mayat lebih berhak menguburnya, berdasar firman Allah:
“Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak di dalam kitab Allah.” (QS. Al-Ahzab:6)
Dari Ali r.a. ia berkata: Aku telah memandikan Rasulullah SAW. lalu aku perhatikan dengan seksama apa yang sering ada pada mayat, maka aku tidak dapatkan sesuatu sekecil apapun pada tubuhnya. Rasulullah saw. sangat baik jasadnya di kala hidup hingga meninggal dunia.:” Dan, di samping para sahabat pada umumnya yang ikut serta memasukkan ke dalam kubur dan menguburnya, ada empat orang, Ali, al-Abbas, al-Fadhal, dan Shalih, bekas budak Rasulullah saw.. Dan telah digalikan liang lahat untuk Rasulullah dan ditegakkan bata di atasnya.[9]
Namun yang demikian dipersyaratkan apabila sang suami tidak berhubungan badan dengan isterinya pada malam harinya. Manakala telah menjima’ isterinya, maka tidak dibolehkan baginya mengubur jenazah isterinya. Bahkan lebih diutamakan orang lain yang menguburnya, walaupun bukan mahramnya dengan persyaratan tersebut. Hal ini berdasar hadits dari Anas r.a ia berkata:
“Kami pernah menyaksikan (pemakaman) puteri Rasulullah saw., sedangkan Rasulullah duduk di atas kuburan, saya lihat kedua matanya meneteskan air mata, kemudian Rasulullah saw. bertanya, “Adakah di antara kalian yang tadi malam tidak berjima’ dengan isterinya?” Maka Abu Thalhah berkata : “Saya wahai Rasulullah.” sabda Beliau (lagi), “Kalau begitu turunlah” kemudian Abu Thalhah turun ke dalam liang kuburnya.[10]
Menurut sunnah Nabi SAW. memasukkan jenazah dari arah kaki berdasar hadits, dari Abu Ishaq r.a. ia berkata, Al-Harist telah mewasiatkan sebelum meninggal dunia agar dishalati oleh Abdullah bin Zaid. Dan, Abdulullah menshalatkannya, kemudian memasukkan jenazah al-Harist ke liang lahad dari arah kaki kubur. Ia berkata, “Ini termasuk sunnah Nabi SAW..”[11]
Dan hendaknya orang meletakkan jenazah ke dalam liang kuburnya membaca, “BISMILLAHI WA ‘ALAA SUNNATI RASUULILLAAH.” atau “BISMILLAHI WA’ALAA MILLATI RASUULILLAH.” Sesuai dengan hadits :
“Dari Ibnu Umar r.a. Nabi SAW. apabila memasukkan mayat ke dalam lubang kubur, beliau mengucapkan, “BISMILLAHI WA’ALAA SUNNATI RASUULILLAAH” (Dengan menyebut nama Allah dan mengikuti sunnah Rasulullah).”[12]
e. Posisi jenazah
Di dalam liang lahat jenazah diletakkan dalam posisi miring dengan sisi kanan jasad jenazah di bawah dan menghadap kiblat, sebagaimana sabda Rasulullah SAW tentang Ka’bah:
“Ka’bah adalah kiblat kalian (baik ketika masih) hidup maupun (ketika telah) mati.” (Hadist riwayat Abu Dawud dan perawi-perawi yang lain).
Jadi hendaknya membaringkan sang mayat di dalam liang lahat dengan posisi lambung kanan di bawah dan menghadap ke arah kiblat, sementara kepala dan kedua kakinya menghadap ke arah kanan dan kiri kiblat. Inilah yang dipraktikkan ummat Islam sejak masa Rasulullah SAW. hingga masa kita sekarang ini.
f. Beberapa hal yang disunnahkan usai pemakaman mayat
1) Hendaknya kuburan ditinggikan sekedar sejengkal dari permukaan tanah, dan tidak diratakan dengan tanah agar diketahui dan bisa dibedakan dari yang lain sehingga tetap terpelihara dan tidak dihinakan. Berdasar hadits dari Jabir r.a. bahwa Nabi SAW. telah dibuatkan liang lahad untuk beliau, lalu ditegakkan disamping lahad dengan bata dan ditinggikan kuburnya sejengkal dari permukaan tanah.[13]
2) Hendaknya gundukan tanah lebihan tersebut dibentuk seperti gunung, berdasar hadits, dari Sufyan at-Tammar r.a. ia berkata, “Saya melihat kubur Nabi saw. dibentuk seperti punuk.”[14]
3) Hendaknya memberi tanda pada makam dengan batu atau sejenisnya agar diketahui dan dijadikan tempat pemakaman bagi keluarganya. Berdasar hadits dari al-Muthalib bin Abi Wada’ah r.a. ia bercerita:
“Tatkala Utsman bin Mazh’un meninggal dunia, maka dibawalah jenazah (ke makam), lalu dikebumikan. Setelah dikubur, Nabi SAW menyuruh seorang sahabat mencari batu, namun ternyata ia tidak mampu membawanya. Maka kemudian Rasulullah SAW sendiri yang datang mengambilnya sambil menyingsingkan lengan bajunya.”
Al-Muthalib melanjutkan ceritanya : “Berkatalah orang yang memberitakan kepadaku dari Rasulullah SAW, Seolah-olah aku melihat putih kedua lengan Rasulullah SAW. ketika Beliau menyingsingkan kedua lengan bajunya. kemudian Beliau mengambil batu itu dan meletakkannya di bagian kepalanya lalu bersabda: “Dengan batu ini aku mengenal kuburan saudaraku dan aku akan mengubur di tempat ini (pula) ada dari kalangan keluarganya yang wafat.”[15]
[1] Shahih: Shahih Nasa’i no:1895, dan Nasa’i IV:79.
[2] Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no:5649, dan Tirmidzi II : 242 no:1023.
[3] Shahih: Shahih Nasa’i no:1893, ‘Aunul Ma’bud VIII: 446 no:3149, Nasa’i IV:79 dan Tirmidzi III: 130 no:1771.
[4] Shahih:
Shahih Ibnu Majah no:1233, Muslim I:568 no:831, ‘Aunul Ma’bud VII: 481
no:3176, Tirmidzi II:247 no:1035, Nasa’i I:275 dan Ibnu Majah I: 486
no:1519.
[5] Shahih: Shahih Nasa’i no:1787, Muslim II:651 no:943, ‘Aunul Ma’bud VIII : 423 no:3132.
[7] Shahih: Ahlamul Janaiz hal.146, Nasa’i IV:80, ‘Aunul Ma’bud IX: 34 no:3199, Tirmidzi III:128 no : 1766.
[8] Sanadnya hasan: Ibnu Majah I: 496 no: 1557.
[9] Sanad Shahih: Mustadrak Hakim I:362 dan Baihaqi IV: 53
[10] Shahih: Ahkamul Janaiz hal. 149 dan Fathul Bari III : 208 no: 1342.
[11] Sanadnya Shahih: Ahkamul Janaiz hal. 150 dan ‘Aunul Ma’bud XI : 29 no: 3195.
[12] Shahih: Ahkamul Janaiz hal. 152, Tirmidzi II: 255 no: 1051, Ibnu Majah I: 494 no: 1550.
[13] Sanadnya Hasan : Ahkamul Janaiz hal. 153, Shahih Ibnu Hibban no: 2150 dan Baihaqi III: 410.
[14] Shahih: Ahkamul Janaiz hal. 154, Fathul Bari III: 255 no:1390.
[15] Hasan : Ahkamul Janaiz hal. 155 dan ‘Aunul Ma’bud IX:22 no: 3190.
[1] Abi Suja’, “Fathul Qarib Al-Mujib”
[2] Ash Shiddieqy, Hasbi. 1991. “Hukum-Hukum Fiqh Islam”. PT bulan Bintang. Jakarta.
[3] Sabiq, Sayid. “Fikih Sunnah Juz 4”. PT Al-Ma’arif. Bandung.
[4] Abu Bakar, Bahrun. 1996. “Musnad Syafi’i Juz 1 Terjamah.” Sinar Baru Algensindo. Bandung.
[5] Nama ukuran besar, kira-kira 1/16 dirham.
[6] Yakni yang lahir dari perut ibunya sebelum cukup waktu kandungan dan setelah nyata rupa bentuknya.
[7] Sabiq, Sayid. “Fikih Sunnah Juz 4”. PT Al-Ma’arif. Bandung.
[8] Abu bakar, Bahrun. 1996. “Musnad Syafi’i Juz 1 Terjamah.” Sinar Baru Algensindo. Bandung.
[9] Saleh, Hassan. 2008. “Kajian Fiqh Nabawi & Fiqh Kontemporer”. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Betway: Casino, Gaming, & Entertainment | KTM Hub
BalasHapusWelcome to Betway 경기도 출장안마 Casino, where all 광명 출장마사지 our games come 당진 출장샵 with a bonus 동해 출장마사지 of up to €100 in welcome bonuses and welcome bonuses. 나주 출장안마